Oke kali ini saya mau ngepost tentang film yang laris manis. Pasti udah
pada tau kan sama film Twilight. Nah film ini udah masuk ke seri terakhir
#pukpukbuatparafansnya.
Gomawo
: http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik
Dan karena saya bukan pecinta Twilight, rasa
kehilangan pada kisahnya di layar lebar tak sesentimentil para fans fanatiknya.
Tapi baiklah, sebelum yang lain-lain saya
hendak tegaskan lebih dulu: Breaking Dawn – Part 2 adalah yang
terbaik dari semua seri Twilight sebelumnya. Ibarat santapan, rupanya
sineas film ini, Bill Condon (Dream Girls) menyajikan “save the best for last.”
Di film trakhir ini kita bertemu Bella
(Kristen Stewart) yang lain, yang sudah berwujud vampir. “We’re in a same
temperature now,” kata Edward (Robert Pattinson) suaminya yang sudah jadi
vampir dari dulu. Selayaknya vampir, Bella punya kekuatan super, indera
penciuman dan pendengarannya lebih peka, bisa lari secepat kilat, melompat
setinggi pohon, serta memecahkan batu besar—mungkin hanya terbang dan
mengeluarkan sinar laser dari matanya saja yang tak bisa dilakukan Bella.
Kita kemudian
disuguhi Bella yang sudah jadi vampir mencari makan dengan memangsa hewan liar
di hutan. Bagian ini masih terasa “sangat” Twilight.
Menginjak ke bagian ketika Bella tahu
kalau Jacob (Taylor Lautner), manusia serigala yang pernah menjalin cinta
segitiga antara Bella dan Edward, telah menjadi “imprint” dari putrinya,
Renesmee, di sini filmnya mulai menghibur. (Oke, buat non fans Twilight [itu
berarti termasuk saya], imprint adalah [saya kutip dari sebuah blog]: suatu
perasaan sayang seseorang yang HANYA dengan melihat pada pertemuan pertama,
langsung YAKIN kalau orang itu adalah SOULMATE-nya. Imprint ini biasa terjadi
tepatnya pasti akan terjadi dan dialami oleh kaum werewolf, terlepas dari dia
masih jomblo atau sudah punya kekasih.)
Bella murka ketika Jacob bahkan sudah
punya panggilan sayang Nessie untuk Renesmee. “You nicknamed my daughter
after the Loch Ness monster—Kau panggil putriku dengan nama dari monster
Loch Ness?” Saya ngakak.
Di tengah ketegangan,
Condon dan penulis skenario Melissa Rosenberg masih bisa menyelipkan humor
macam begitu. Akhirnya, ada bagian Twilight yang mengena buat saya. Walau
akhirnya, adegan adu panco Bella lawan Emmet kembali bikin saya sadar kalau ini
memang film Twilight.
Breaking Dawn – Part 2 dibuat bareng dengan bagian
pertama, persis seperti kisah Harry Potter terakhir yang dibagi jadi dua film.
Saya masih menganggap alasan utama filmnya dibagi dua karena produsernya ingin
menangguk untung lebih banyak dengan sekali syuting lalu dibagi jadi dua film.
Bagaimana pun siapa yang tak tergoda untuk menangguk untung sebanyak-banyaknya
dari franchise yang sejauh ini sudah mengumpulkan AS$ 2,5
miliar.
Saat mengulas
bagian pertama dulu, saya bilang film pertama seharusnya bisa diceritakan
dalanm waktu 50 menit. Waktu itu saya berpikir, segala drama yang menguras
emosi dari buku terakhir sudah tersaji di film pertama (pernikahan, bulan madu,
hamil, melahirkan, dan jadi vampir).
Apa yang
tersisa pada film terakhir? Apa nanti juga akan dibuat bertele-tele kembali?
Begitu tanya saya.
Filmnya,
ternyata masih punya persoalan yang ingin diceritakan: nasib Renesmee, putri
Bella. Sesosok vampir melihat Renesmee dari kejauhan, lantas melapor pada
keluarga penguasa di kakangan vampir, Keluarga Volturi, kalau Renesmee manusia
abadi, dan dengan demikian harus dimusnahkan menurut hukum yang berlaku di
kalangan vampir.
Keluarga
Cullen kemudian pergi ke berbagai tempat di dunia, mencari para vampir yang
hendak bersaksi bahwa Renesmee bukan makhluk abadi, tapi setengah
manusia-setengah vampir.
Keluarga
Volturi dan pengawal mereka bertemu di padang salju berhadap-hadapan dengan
keluarga Cullen, para vampir yang bersedia menjadi saksi bagi Renesmee, serta
kawanan serigala jejadian.
Dari sini kemudian ceritanya mengalami
kelokan alias twist.(SPOILER ALERT! Yang tak ingin tahu
twist-nya silakan lewati dua paragraf berikut)
Keluarga
Volturi dengan pasukannya dan Keluarga Cullen beserta vampir lain berikut
kawanan seigala jejadian terlibat dalam perang besar. Kita menyaksikan satu
demi satu keluarga Volturi mati, dan juga beberapa anggota keluarga Cullen,
orang-orang yang sudah kita kenal sejak film pertama. Kepala mereka putus dari
badannya dengan cara mengenaskan.
Sedikt banyak, pertempuran di padang
salju itu mengingatkan saya pada bagian “Pertempuran Hogwarts” di kisah
akhir Harry Potter. Namun, ada perbedaan mendasar antara
pertempuran padang salju di Twilight dengan Pertempuran
Hogwarts. Alih-alih membuat sedih, pertempuran besar-besaran di Twilight malah
bikin penonton pada akhirnya tertawa ngakak, atau mungkin juga ada yang merasa
tertipu karena sudah bersemangat dan nonton pertarungan seru eh, nggak
tahunya…. Aduh, saya takut makin keceplosan.
(SPOILER berakhir di
sini.)
Lantas saya
berpikir, kenapa pula mesti ada kelokan cerita yang beda begitu?
Well, kesalahan utama tetap harus dialamatkan pada ibu Stephanie Meyer,
sang pencipta kisah Twilight. Jika filmnya terlalu patuh pada novelnya, dengan
ujung cerita sekadar membuktikan Renesmee makhluk abadi atau bukan, pasti
filmnya bakal garing, banyak ngobrol.
Condon dan Rosenberg terbilang cerdas
memikirkan akhir yang beda (terlepas Anda merasa ditipu atau tidak). Bagian
yang beda dengan novelnya tersebut justru jadi puncak pencapaian film ini dari
seri yang sudah-sudah. Sebab, pada akhirnya, penonton yang tak suka Twilight,mungkin
para pria yang nonton sekadar menemani sang pacar/istri (atau saya yang
menonton karena harus menuliskan review-nya), menemukan
sesuatu yang bisa dinikmati dari film ini.
Persis di bagian akhir sekali (aduh,
masak yang ini juga mesti saya bilang SPOILER ALERT!), ada semacam
tribute untuk kisah yang sudah kita ikuti di layar lebar sejak 2008. Kita
diajak mengenang perjalanan cinta Bella dan Edward.
Menonton bagian ini saya tersadar,
mungkin saya memang tak bisa merasakan aura sentimentil hendak berpisah dengan
film ini. Namun, bagi para remaja putri, para Twi-hard, inilah
momen mereka berpisah dengan kisah yang mereka cintai. Tribute semacam
itu, apalagi diiringi lagu “A Thousand Years”, tentulah memberi rasa haru.
Bella dan Edward adalah karakter-karakter yang mereka cintai selama 5 tahun
ini.
Seperti cerita dongeng yang berakhir
“dan mereka hidup bahagia selamanya,” kata terakhir di novel Breaking Dawn,
“forever” bergema di layar.
Dengan begitu, bagian akhir Twilight telah
menunaikan tugasnya dengan baik. Baik pecintaTwilight atau bukan
(seperti saya) keluar dari bioskop dengan perasaan sama puasnya karena sudah
menonton film yang baik.
Happy Ending :))